Berpikir ala orang Jepang

Saya harus membuat tulisan ini ‘out of the box’ ala Japanese, jadi sebelum saya bercerita panjang dan bertele-tele, saya sajikan ‘terbalik’ dimana kesimpulan cerita menjadi ‘hidangan utama’.

Buat Anda yang males baca tulisan saya yang panjang-panjang…

Orang Jepang itu sangat sincere,

Waktu mereka membungkukkan badan mengucapkan hormat kepada Anda, mereka melakukan itu dengan sungguh-sungguh, mereka lakukan -bukan- karena Anda, tetapi karena berbuat baik dan menghormati orang lain adalah pahala untuk mereka. Satu kali saya lihat merek ber-dadah ria kepada touris dalam satu bus, yang didalam bus mungkin juga tidak melihat mereka, tetapi tiga petugas hotel tetap berdadah-ria bahkan sampai busnya tidak terlihat.

Hal kecil yang sangat berarti bagi mereka…

Kapan terakhir Anda benar-benar mengucapkan ‘selamat jalan’ buat konsumen Anda sampai pintu depan, sampai konsumen Anda berlalu jauh? kapan Anda mengucapkan itu dengan sepenuh hati. 

Orang Jepang berdagang dengan fair,

Harga selalu tercantum dimanapun, jualan merchendize murah sampai tas LV, ada rupa, ada mutu, ada harga. Untuk barang merchendize, sebisa mungkin -bukan barang made in China yang dipoles dan dijual mahal-, tetapi barang-barang Made in Japan yang dibuat oleh para pengrajin lokal, dimana disetiap benda itu ada nilai art-nya.

Untung pasti, untung berlebihan tidak, barang yang dijual di lobi hotel pastinya lebih mahal daripada dipasar, tetapi tidak menjadi ‘aji mumpung’ dan mahal sekali.

Mereka bangga akan hasil buminya dan Made in Japan,

Olah dengan full effort, berusaha maksimal supaya hasil terbaik. hasil terbaik dibayarkan dengan harga terbaik. 

Dari bangsa yang sehat, akan lahir generasi yang sehat. Mereka makan sesuatu itu ada maknanya, makan ikan karena EPA/DHA, mereka makan bukan karena hanya ‘enak’ atau ‘kenyang’, tetapi karena bermanfaat buat badannya.

Kalau Anda ke Jepang, tidak perlu bawa sabun, shampoo dan lain-lain, karena sabun Anda bisa jadi kalah bagus dengan sabun hotel mereka, simbiosis mutualisma mempromosikan kosmetik Jepang terjadi begitu sempurna, hotel disana tidak memakai sabun asal, tidak juga menggunakan mereka Eropa. Mereka, Sisheido, Pola, Kanebo, menjadi pengisi shampoo dan sabun, pada hotel-hotel mereka. Mempromosikan kehebatan mereka kepada tamunya…

Disiplin itu bukan karena denda,

Kalau kita ke negara tetangga, orang tidak merokok karena denda, orang tidak membuang sampah sembarangan karena denda, fine fine fine, sampai ada julukan “S” is a fine country.

Tidak demikian di Jepang. Mereka dididik budaya malu, budaya menghargai diri sendiri dan sesama, denda itu bukan tujuan hidup, denda itu adanya diujung jalan saat manusia tidak bisa diatur, bangsa Jepang sudah maju berlangkah-langkah kedepan , bukan denda yang dikedepankan, tetapi didikan moral.

Mengatasi masalah itu diurai dari asalnya,

Seperti bagaimana mereka menyikai masalah sampah, bukan ditambah tong sampahnya, tetapi dibenahi ‘moral’ manusianya, didik mereka untuk buang sampah di rumah atau kembalikan kepada yang menerbitkan sampah tersebut. Semakin pendek jalur prosesnya, semakin efisien, murah, dan efektif. 

Sebagai inspirasi akan ‘berpikir mulai dari akarnya’, saya share pengalaman saya dikantor,

  1. Merasa bahwa kantor saya susah sekali menjadi lebih bersih, 2 tahun lalu saya melakukan perubahan,
  2. Membuang jobdesk ‘office boy’ di kantor dan ternyata tanpa office boy, kantor saya lebih bersih. 
  3. Lantas siapa yang membersihkan? 
  4. Untuk ruang kerja, masing-masing staff harus membersihkan area 2 meter sekelilingnya,
  5. untuk toilet, satu minggu satu kali dipanggil petugas kebersihan seperti Go Clean. 
  6. Untuk penguasa gudang, maka gudang dibersihkan olehnya. 

Terbukti menyelesaikan masalah kebersihan dikantor bukan karena banyakanya office boy, tetapi bersih itu dimulai dari diri sendiri

Moral, lingkungan dan logika berpikir

Di Jepang, anak SD kelas satu tidak diberikan matematika dan sebagainya. Sebagai gantinya mereka dikasih ajaran moral, bagaimana bertindak benar terhadap sesama, lingkungan, dan mahluk hidup lainnya. 

Mereka dididik untuk malu apabila melakukan sesuatu yang tidak baik, bukan belajar berapa dendanya.

Mereka dididik untuk berinteraksi dengan lembut, berkata lemah lembut,  bahwa berbuat baik itu harus tulus dari dalam hati, bukan karena dilihat orang lain.

Mereka dididik untuk membuat orang lain senang, bukan bersandar pada orang lain.

End.

Catatan akhir tahun 2018 (19-25 Desember 2018) Kyoto – Shirakawago – Mount Hotaka – Mount Fuji – Tokyo

Orang bijak bilang, belajar sampai ke negeri Cina

Orang tua kita banyak yang berkata “belajarlah sampai ke negeri Cina”. 

Mengapa Cina?

Karena sejak ratusan tahun lalu mereka merupakan bangsa yang mempunyai peradaban lebih maju. 

Kain sutra, pengobatan herbal (manfaat tumbuhan), olah tubuh (tai chi, kung fu dll), ilmu pemerintahan dan peperangan, maka merekalah yang  menjadi pionir.

Tapi kenapa judulnya belajar sampai ke negeri Jepang, bukan karena bangsa Jepang lebih hebat, tetapi karena saya melihat suatu yang baik disana, dan sudah waktunya sesuatu yang baik kita share dan renungkan untuk kemajuan bangsa Indonesia. 

Dari Osaka-Kyoto : Saya belajar bagaimana orang Jepang bersikap tentang sampah

Perjalanan dimulai bekas ibukota Kyoto, sebuah kota tua yang indah dan tenang. Seperti kota maju lainnya, jalur pedestrian yang asri, rumah-rumah berpagar rendah seolah-olah berkata ‘disini aman loh’.  

Sesaat saya mau buang sampah, saya tidak menemukan tong sampah disepanjang jalur pedestrian tersebut, kalau di Indonesia tong sampahnya banyak, tetapi malah buang dijalan. Disini tidak ada tong sampah dan tidak ada sampah dijalan.

Tour leader saya berkata bahwa ‘managing’ sampah (di Jepang) bukan berarti menyediakan tong sampah yang banyak dimana2. Managing sampah adalah dengan ‘bertanggung jawab’ atas sampah masing-masing, bisa dengan cara membawa pulang (dan buanglah dirumah masing-masing), atau, kalau Anda penjual makanan, maka Anda harus menerima sampah sisa dari bungkus bekas makanan tersebut. 

Nilai moralnya adalah, sampah pribadi harus sebisa mungkin ditangani oleh pribadi (seminimal mungkin ada campur tangan orang lain pada tahap awal).

Secara ‘refleks’ maka kita akan berpikir bahwa menyediakan banyak tong sampah dijalan adalah sebuah solusi (berharap orang buang sampah disana, dan kemudian sampah itu menjadi tanggung jawab orang lain). Yang mereka lakukan adalah menghilangkan semua tong sampah dijalan! Merek membudayakan supaya sampah ‘pribadi’ itu dibawa pulang atau dikembalikan kepada yang menjual, dengan demikian proses ‘management’ sampah itu menjadi lebih ringkas, bertanggung jawab, bersih, dan pada akhirnya hanya ada satu kali proses pindah tangan ke petugas kebersihan.

Lebih sedikit tong sampah di ruang publik berarti lebih sedikit sampah tercecer, lebih sedikit dana beli tong sampah, lebih sedikit petugas pembersih sampah tersebut. Terkadang dalam menyelesaikan masalah, kita harus berpikir jernih, keluar dari kebiasaan harian yang kita lihat. Cara berpikir yang menghilangkan masalah, bukan dengan menciptakan sesuatu cara baru, tetapi cari sumber masalahnya, ajarkan dari awal siapa yang bertanggung jawab, selesaikan disana.

Lah gimana ini, ikut tour malah sibuk mikirin sampah….

Shirakawago – Mount Hotaka : Lestarikan budaya, manfaatkan dengan bijak dan bangga akan Made in Japan

Kalau anda berpikir mau ke Alpin, Swiss untuk menikmati ‘kampung ala eropa’ dan salju, saya anjurkan Anda putar haluan ke Shirakawago, bentuk rumah kampungnya mungkin berbeda dengan yang di Eropa, Shirakawago asrinya mirip seperti Switzerland dengan keramahan khas Jepang.

Di sini saya belajar bagaimana mereka melestarikan budaya ratusan tahun dan memanfaatkannya untuk tourism secara natural, tidak berlebihan, tidak sekejap semua rumah menjadi toko, hotel, atau cafe. Banyak penduduk yang masih bercocok tanam dan melakukan kegiatan keseharian. Respect nature dan manfaatkan untuk berbisnis secara proporsional.

Satu hal unik lainnya adalah budaya ‘Made in Japan’, kalau anda ke Eropa, ke Eiffel misalnya, 99,9% merchandize yang mereka jual adalah Made in China, banyak orang berpikir ini adalah hal kecil. Beda dengan di Jepang, mereka sangat respect dengan produk domestik, mereka saling bantu dengan pengrajin dalam negeri, entah itu boneka, produk kerajinan yang terbuat dari kayu, hingga teh dan coklat sebisa mungkin semua Made in Japan.

Lanjut ke Mount Hotaka,

merupakan puncak gunung yang tidak terlalu tinggi dan tidak selalu tertutup salju, kira-kira sekitar 3000 Feet (bandingkan dengan Mount Titlis yang berada pada 10.000 Feet). Kalau Anda pergi ke Mount Titlis, yang Anda lihat adalah hamparan salju putih minus pepohonan dipuncaknya, dan siap-siap pusing sedikit karena tipisnya oksigen.

Sebaliknya, Mount Hotaka di 3000 feet sangat pas untuk bermain salju, berjalan ke dek paling atas, Anda akan disuguhkan pemandangan yang spektakuler dan sajian ice cream merek ‘Cremia’ yang super delicious, ya…mereka menyajikan ice cream pada suhu 0 derajat, ice cream terenak didunia disajikan pada nol derajat.

Masih di Mount Hotaka, satu hal yang menarik adalah hadirnya fotografer professional yang sangat humanis dan cekatan, mereka siap membantu kita jeprat-jepret dengan kamera pribadi dengan senyum (meskipun kita tidak memakai jasa printing foto mereka).Tidak ada cegat-mencegat dipintu keluar seraya menunjukkan foto Anda dan maksa Anda untuk beli.

Karena terkesima dengan gaya mereka, akhirnya saya memutuskan untuk memakai jasa professionalsi juru foto. Dia menanya kita dari mana, “ah, Indonesia” katanya,  sesaat dia kasih aba-aba….satuuuu, dua, tighaaaaaaa, cekrek! Dia fasih bicara bahasa Indonesia.

Dan kemudian dia masih minta kamera pribadi saya untuk difoto olehnya (baru saya mikir mau minta file jpegnya, dia sudah ngerti loh hahaha), dan hebatnya dalam 1-2 menit, foto tersebut sudah tersedia di rak! Dilengkapi dengan pemandangan Mount Hotaka saat malam dan saat spring/summer, arghhhh….seandainya di Bali kita bisa memberikan pelayanan seperti ini. Jiwa melayani dengan tulus hati mereka saya rasa jauh diatas saya. 

And yes, we try ‘Onsen’ : Onsen adalah permandian air panas khas Jepang, dimana kita ber-bugil ria mandi dengan orang lain.

What?! Bugil? waduh gimana nanti kalau ‘Naga’ saya gondal gandul dilirik orang . Pada saat hal ini diumumkan oleh tour leader, banyak peserta tour yang langsung ciut nyali, rasa kemaluan lebih besar dari kemaluan itu sendiri.

Saya bersama Jesu (8thn) memutuskan untuk ikut bermandi ria ala Onsen, “papi, ini kita copot semua? malu kan?” kata Jesu. Saya bilang ke dia “kamu lihat sekeliling kamu, itu semua om-om pada berbugil ria, santai aja mereka….”.

Akhirnya kita berdua belajar, kalau semuanya bugil, ternyata, tidak ada yang mau saling lihat-lihatan.

Selesai rendeman kita duduk di cafe, jam menunjukkan pukul 22.00, disekeliling kami banyak orang Jepang yang sama-sama habis rendaman, rata-rata dimeja mereka ada botol susu beling (mini) ala tahun 1970an ( terbuat dari kaca, bentuknya khas dengan bibir atas agak tebal) dan ice cream! 

Disatu sudut, saya lihat sebaris vending machine, mulai dari sop jagung panas (dalam kaleng), kopi panas atau dingin, ice cream Haagen Daz (yang lebih murah daripada di Indonesia), dan susu. 

Penasaran akan rasa susunya saya beli untuk 4 orang, tertulis disana bahwa susu ini adalah susu special dari sapi asal Hida (setiap daerah mempunyai sapi andalan tersendiri, di Indonesia kita kenal sapi Kobe (Kobe beef, ternyata di Jepang ada juga Matsuzaka beef, Hida beef, dll). Nanti akan saya bahas khusus mengenai ‘bangganya’ orang Jepang akan hasil bumi mereka. At the moment saya ingin menikmati susu dari daerah Hida. Saya bukan penikmat susu sapi karena benci dengan bau amis dan rasa eneg diujungnya, bagaimana dengan susu ini?

Susu Hida ini beda, enak tanpa eneg! Ditemani dengan ice cream Haagen Daz murahan (karena lebih murah dari Indonesia) malam itu menjadi malam yang tidak terlupakan. Rendeman di air panas bugil + sebotol susu + ice cream, what can be better than that!

Eh, bicara naga, situ punya naga apa burung pipit sob, …ahahahah, kaga masalah mau naga, burung pipit atau doraemon, semua sudah lebur jadi satu kolam.

Mount Fuji : Petani adalah orang kaya di Jepang

“Indonesiaaa, ini anggur enaaaaak….” kata si penjual. Saya lihat disamping belakang Tono dari Menara Audioworkshop , Jambi sedang sibuk kupas Apel Fuji. Saya masih takjub dengan besarnya buah anggur hijau yang ditawarkan. 

Harga anggur hijau tersebut fantastis 3500 Yen (450-500rb untuk  200gram). Saya penasaran dan memutuskan untuk beli dan bagikan ke pererta tour yang lain, dan kita semua kaget dengan rasanya, 3500 Yen untuk 200 gram ‘anggur’ akan terasa mahal, tetapi 3500 Yen untuk membeli ‘pengalaman makan anggur seenak ini’ adalah masuk akal. 

Yang ingin saya bagikan disini adalah rasa bangga meggunakan hasil pertanian domestik, beras, anggur, nanas, sayuran, sampai daging, semua hasil bumi Jepang. Buah, sayuran dan daging impor ada, tetapi lebih murah daripada hasil bumi Jepang karena memang mutunya kalah baik.

Disini saya belajar, bahwa apapun yang Anda lakukan, mau jadi instalatur audio mobil atau jadi petani, berusahalan untuk jadi yang terbaik, mereka tidak bangga memakai produk luar dan berusaha untuk menciptakan produk lokal terbaik, dijual dengan harga yang terbaik pula, yang tentunya memberikan untung yang cukup sebagai seorang petani.

Dari ilustrasi anggur diatas, mungkin Anda akan berpikiran bahwa barang di Jepang itu mahal. Untuk ‘makan anggur’ itu tentunya sangat mahal, tetapi yang saya beli adalah ‘pengalaman makan anggur’. 

Secara garis besar food and beverages di Jepang masuk akal, saya makan Yoshinoya berlima 2080 Yen (300ribuan). Tetapi untuk makanan-makanan yang bukan cepat saji, anda harus rasakan nikmatnya makan buah dan sayuran di Jepang. 

Saya rasa bangsa yang sehat harus dimulai dari petaninya. Para petani yang menghasilkan hasil bumi yang sehat dan rasanya nikmat. Hasil karya petani tersebut dihargai dengan harga yang tinggi supaya mereka makmur (hasil bumi lokal Jepang lebih mahal daripada produk impor), dan akhirnya siklus ekosistem tersebut terbentuk dengan baik, semua untung, sejahtera, dan menghasilkan suatu bangsa yang kuat.

Tokyo :  Sebuah metropolitan yang lengkap

Jalanan bertingkat 3 dimana-mana, Shibuya crossing dengan Hachikonya masih menjadi magnet bagi para touris dan anak muda Jepang. Karena hari itu adalah 24 Desember, sekelompok anak muda mengadakan acara ‘Free Hug’, yang ganteng memberikan free hug ke cewe-cewe, dan yang menarik adalah cewe Jepang ala JAV memberikan free hug kepada siapa saja! Itu adalah gambaran kecerianan suka cita Natal disana.

Natal?

Emang orang Jepang merayakan Natal? Emang agama mereka Katholik atau Kristen? 

Agama tertua di Jepang adalah Budha, kemudian diikuti oleh Sinto (Agama asli disana). Pada area vihara Senso-ji di Asakusa, Tokyo, vihara besar Budha tersebut bersebelahan dengan kuil Sinto. 

Mereka merayakan Natal untuk nilai positifnya -bukan karena agamanya-, agama bagi orang Jepang adalah urusan vertikal ke atas. Jangan kaget kalau tidak ada libur untuk hari Natal, Waisak, Idul Fitri, dan hari besar agama lainnya, pemerintah tidak mengatur tentang itu.

Jadi jangan kaget -hanya di Jepang-  kalau diujung pohon Natal itu hiasannya bukan malaikat, tetapi gambar  matahari :).

Saya percaya bahwa disetiap kunjungan selalu memberikan makna positif untuk kita,semoga catatan ini bermanfaat untuk kita semua dan bisa membuat kita menjadi lebih baik kedepan.

Selamat Tahun Baru 2019

Jakarta, 31 Desember 2018, Wahyu Tanuwidjaja

Catatan,

Perjalan tersebut merupakan incentive tour dari Domination Car Audio untuk para Domimonsternya, 

Avia Tour (https://www.avia.travel/) menjadi kontraktor perjalanan dengan Tour leader Mrs. Yosa Partiwi dan Mrs. Tamawati Wiryawan sebagai freelancer dari japan TAS Co.Ltd. Tokyo (https://tas-japan.net/).